SEJARAH ILMU FILSAFAT
Filsafat lahir pada abad 26 yang lalu. Dari pendekatan
historis,secara konvensional orang mengadakan periodisasi/penahapan filsafat
sebagai berikut :
a.
Tahap
/ masa yunani kuno ( abad ke-6 SM s.d akhir abad ke-3 SM)
b.
Tahap
/ masa abad pertengahan ( akhir abad ke-3 SM s.d awal abad ke-15 )
c.
Tahap
/ masa modern ( akhir abad ke-15 s.d abad ke-19 )
d.
Tahap
/ masa dewasa ini (filsafat kontemporer ) abad 20 M
Wajah filsafat
pada masa proses kelahirannya ( abad ke- 6-3 SM ), menampakkan diri sebagai
mitologi,sebagai dongeng-dongeng, sebagai takhayul, mengapa demikian?
Di semenanjung Asia kecil tempat
kota Athena berada, merupakan pelabuhan yang sangat ramai bagi pertemuan /
pertukaran barang-barang dagangan dari barat dan dari timur.
Dalam keadaan
begitu damai, aman lancar dan sebagainya ada sekempok kecil anggota masyarakat
yang seolah-olah mengambil jarak / mengisolasikan diri dari keramaian kota yang
kemudian mempertanyakan:
Alam semesta ini mengapa begitu
teratur, terus –menerus berubah , tetpi perubahan itu tetap menjaga
keteraturan-nya. Kemudian mereka lebih lanjut bertanya: sejak kapan alam
semesta ini ada, siapa yang mengadakan dan ,mengaturnya ? akan dibawa kemana
alam semesta ini yang terus-menerus berubah tetapi teratur ? ada siang, ada
malam, ada kelahiran ada kematian, ada musim yang bersilih berganti dan
sebagainya.
Sayang, pertanyaan yang sangat
mendalam ini dan hingga kini masih relevan untuk diajukan, namun tidak mampu
dijawab oleh mereka. Mereka menyerah kepada dongeng-dongeng, takhayul, mitos
dengan mengatakan ,”Semua itu yang menciptakan para dewa, dan sebagainya”
sehingga filsafat pada waktu itu menampilkan diri sebagai cerita tentang
peranan dewa,takhayul, mitos, tentang terjadinya alam semesta yang disebut
sebagai theology dan cosmogony.
Jadi filsafat pada awal kelahirannya
tampil dalam wujud novel-novel, sajak-sajak, nyanyian-nyanyian yang
menggambarkan para dewa da nasal-usul terjadinya alam semesta. Hal ini
berlangsung lebih kurang tiga abad. Setelah masa itu manusia tidak lagi merasa
puas atas dongeng-dongeng tersebut, kemudian mulai mencoba mencari jawaban
secara akhliah. Disini filsafat lari dari mitos ke logos, dari takhayul ke
pikir. Kemudian lahirlah para filsuf pertama yang secara logika akal pikir
ingin mencari jawaban yang secara teknik filsafati mempertanyakan, apa arche dari
segala sesuatu yang “ada” itu? Pertanyaan tersebut seakan-akan merupakan
gerakan demitologi, muncul sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan atas
jawaban-jawaban mitologi yang tidak masuk akal. Diantara para filsuf yang
pertama lari dari mitos kelogos antara lain Thales ( 624-548), anaximandros (
610-540), pytagoras (580-500),demokritos ( 460-370 ) dan lain-lain. Dengan
tinggal landasnya oara filsuf alam semesta, Filsafat yunani kuno mencapai puncak
keagungannya pada diri Socrates ( 469-399 SM), Plato (427-347) da naris toteles
(348-322 SM ). Jadi dengan tokohnya seprti Socrates, dilanjutkan oleh muridnya
yang sangat cerdas yaitu Plato dan kemudian dilanjutkan oleh muridnya yaitu
aristoteles, filsafat menjadi kegiatan olmiah sampai pada puncak
perkembangannya. Akibat orang sering mengatakan bahwa filsafat hari ini atau
sesudah Plato dan Aristoteles tidak lain merupakan masalah yang telah
dilemparkan isu-isunya oleh Socrates, Plato dan Aristoteles.
Socrates yang
memulai; ia tidak sekedar melihat keatas alam semesta, tetapi Socrates membawa
filsafat ke bumi. Terutama diajarkannya nilai-nilai etik dan moral bagi
anak-anak muda untuk berfikit secara kritis.
Akhirnya filsafat jatuh pada mistik
lagi pada akhir abad-13 diajarkan oleh Plotinus yang menampakkan dirinya
sebagai aliran Neo-Platonisme. Filsafat turun dari aliran-aliran yang mencari
kebahagiaan kepada mistik: bagaimana manusia bisa menunggal dengan tuhan,
melalui. Dengan demikian filsafat kuno yang semula lahir menampakkan dirinya
sebagai mitologi, kemudian berkembang menjadi ilmu pengetahuan dan etikan,dan
turun kembali menjadi sesuatu yang bersifat mistik.
Pasca kejayaan filsafat yunani kuno
hingga sampai pada mistik Neo-Platonisme,seluruh ajaran filsafat dan kebudayaan
yunani diambil oleh bangsa mesir yang pada saat itu sedang mengalami kejayaan
dibawah pimpinan Ratu Cleopatra ( 69-30 SM ).
Kebesaran
filsafat yunani kuno sampai dengan filsafat mistik Neo-Platonisme, dapat
dikenal luas, langsung atau tidak langsung adalah berkat peranan para filsuf
islam.
Sebab sejarah
telah mencatat bahwa pada abad ke-9 sampai ke-12 islam telah mengalami zaman
keemasan, pusat perkembangan ilmu ditimur adalah Baghdad dan dibarat adalah
cordoba. Filsuf islam seperti Al-kindi ( 806-873), Al-farabi (870-950),Ibnu
SIna ( 980-1037), Al-ghazali (1058-1111) dan sebagainya.
Ada yang berpendapat bahwa filsafat
islam yang dikembangkan tersebut adalah filsafat Aristoteles. Atas dasar versi
ini merekalah yang menurunkan filsafat Aristoteles, kemudian membawa ke Cordoba
ini, dan diajarkan dalam “Semangat kebesaran islam”. Pada suatu saat yang
diajarkan oleh para filsuf islam dicorcoba ini, ditemukan oleh gereja dan
diterjemahkan kedalam bahasa mereka dan disebar luaskan ke Eropa barat.
Akibatnya masyarakat Eropa baratlah yang lebih awal mewarisi tradisi berfikir,
tradisi berfilsafat yang mengantarkan mereka pada kejayaan abad kini; sebagai
penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mengapa ajaran
filsuf islam lebih berpengaruh kedunia barat (eropa)? Sebab dunia timur sudah
mempunyai filsafat yang tinggi nilainya, akni filasafat cina dan filsafat
india. Ibarat air yang mengalir kedataran yang lebih rendah maka karna barat
saat itu mengalami kekosongan nilai, dengan sendirinya ajaran filsafat meresap
dan merembet kesana. Sedangkan fislsafat cina dan india lebih menekankan kepada
etika, bagaimana menjadi warga negara yang baik, tetapi pola pemikiran yang
akhliah tidak dikembangkan.
Pada mulanya kaisar romawi sangat
menentang kehadiran agama baru yaitu Kristen yang berpusat di romawi,
sehingga sering terjadi bentrok antara
caisar romawi dan agama baru tersebut. Namun sudah menjadi kehendak sejarah
agama baru itu makin lama makin berkembang/makin meresap di hati masyarakat
pada waktu itu. Sampai suatu saat kaisar Yustanus ( ± 529 ) menyatakan :
“ Filsafat dan kebudayaan yunani
kuno dilarang diajarkan dan sebagai gantinya diajarkan dogma ajaran baru yaitu
agama kristiani yang berpusat di Roma”.
Dengan demikian, kebijakansanaan
kaisar yustianus membawa filsafat identic dengan teologi. Sehingga filsafat
berubah wajahnya menjadi identic dengan agama Kristen. Pada abad pertengahan inilah
dikenal adanya semboyan Ansila teologia filsafat mengabdi kepada agama.
Jadi selama
sekitar abad ke-7 -9, filsafat sudah merubah wajahnya untuk mengabdi kepada
dogma-dogma Kristen. Akibatnya pada abad pertengahan gereja menjadi :
superstate negara diatas negara.
Karya-karya Aristoteles dipelajari
kembali, tidak untuk diamini atau didukung reserve, tetapi untuk dikritik,
dipelajari, baik dipertahankan dan yang baik dibongkar habis-habisan. Dalam
situasi yang demikian timbul gejala terpisahnya hubungan filsafat dengan agama.
Abad Renaissance
kemudian disusul oleh zaman Aufklarung di abad ke-18. Aufklarung adalah suatu
gerakan yang didukung suatu kepercayaan bahwa akal manusia merupakan
segala-galanya. Gerakan renaissance dan
gerakan aufklarung The age of reason, persoalan apapun dipecahkan dengan
rasio.Gerakan rasionalisme inilah yang kemudian menjadi ciri filsafat abad
modern.[1]
Filsafat eropa
pada abad pertengahan terkenal dengan
nama “filsafat scholastic” artinya Filsafat yang dijarkan di sekolah-sekolah.
abad pertengahan mengalami 4 fase
yaitu masa peralihan (4-9 M ) yang telah membanjiri dengan karangan-karangan
dan diterjemahkan kedalam bahasa latin. Meskipun fase pertama ini panjang
umurnya namun sedikit kerja yang dihasilkan, karna adanya kegoncangan-kegoncangan
yang menimpa roma dan kerajaan romawi, sebagai akibat serangan bangsa barbar,
dan pergolakan social yang menyebabkan rusaknya buku-buku. Fase kedua abad
ke-12 M munculnya orang-orang theology dan apology. Fase ketiga buku-buku tersebut
mendorong pikiran barat dan menimbulkan kegiatan yang luar biasa, dan sebagai
kelanjutannya ialah terpisahnya sekolah-sekolah dari kekuasaan uskup-sukkup dan
diurus oleh kekuasaan administrasi pemerintahan dan akhirnya timbullah
universitas.
Fase keempat,
di sebut fase nominalisme, karna kata-kata tentang pikiran murni hanya dianggap
sebagai pemikiran kosong. Aliran nominalisme mengajak filsafat yang murni yang
terlepas dari agama tetapi juga percaya dengan revolusinya terhadap kekuatan
Aristoteles dalam lapangan ilmu pengetahuan dan filsafat dan terkenal pula
dengan pemberontakan raja-raja terhadap kekuasaan paus serta pandangan
keharusan dipisahkannya agama dan negara.[2]
Jean-Paul
Sartre, salah seorang filsuf diantara filsuf
eksistensialis, berpendapat bahwa filsuf abad ke-20 menelaah hakikat
kemanusiaan dengan menerapkan kemanusiaan asli pandangannya dalam kaitan dengan
dirinya maupun orang lain.[3]
Perdamaian atau sintesa antara
filsafat dan teologi telah dilakukan oleh para pemikir isyraqi, dan al-suhrawardi
sampai ke al-Syirazi ( Mulla Sadra ). Hal ini selanjutnya telah memberikan
tempat yang aman bagi filsafat di Persia
dan menyiapkan dasar bagi munculnya modernism di negeri-negeri muslim.[4]
Studi mengenai filsafat dewasa ini
berkembang luas, terutama di negara-negara yang banyak berhubungan negara eropa
dan barat. Buku-buku karya filosof islam dizaman klasik mulai bermunculan.
Namun diakui bahwa pemikiran mereka belum banyak dikenal luas, khususnya di
kalanangan umat islam yang tradisional. Hal ini mungkin karna kuatnya pengaruh
fikih dan tasauf Al- ghazali.[5]
Dalam perspektif seorang posmodermis
yang berasal dari tradisi filsafat, modernisme yag berasal dari tradisi
filsafat , modernism bisa disebut sebagai semangat (elan ) yang di andaikan ada
pada ( dan menyemangati ) masyarakat intelektual sejak zaman renaissance ( abad
ke-18 ) hingga paruh pertama abad ke-20. Rasio dipandang sebagai kekekuatan
yang dimiliki oleh manusia untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi,
moralitas, dan estetika untuk menentukan arah hidup dan perkembangan sejarah
untuk memecahkan persoalan-persoalan
ekonomi untuk mengendalikan system social, politik,dan budaya dan seterusnya.[6]
Filsafat jerman
pada kurun pencerahan gagasan-gagasan kefilsafatan amat tersebar luas namun
hanya kant yang menandai titik puncak pemikiran manusia. Filsafat jerman
memperoleh wataknya yang khas dengan tampilnya kant. Maka dapatlah kini
diperoleh kedua buah pokok pikiran sebagai
berikut:
1.
Aku
mengambil sikap sebagai sesuatu yang ditentukan oleh bukan-aku.
2.
Aku
menyebabkan bukan aku sebagai sesuatu yang ditentukan oleh aku
[1]
Sudarto,1996 Metodologi Penelitian Filsafat, Raja GRAFINDO Persada, Jakarta
[2]
Hanafi,1996 filsafat Skolastik, Pustaka Alhusna, Jakarta
[3]
Semiawan Conny R.,Putrawan Made dan Setiawan,1988 Dimensi Kreatif Dalam
Filsafat ilmu, remaja rosdakarya, Bandung
[4]
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam,
[5]
Nata Abuddin, 2001, Ilmu Kalam Filsafat dan Tasauf, Fajar Interpratama, Jakarta
[6]
Abidin Zainal,2009, filsafat Manusia, Remaja Rosdakarya, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar