AL-JAHR WAL TA’DIL
MAKALAH
Ulumul Quran Wal Hadist
Diajukan Oleh:
MUNAWIR SAPUTRA
Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan komunikasi
Prodi Komunikasi Penyiaran Islam
NIM: 140401012
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2014 M / 1435 H
BAB I
PENDAHULUAN
Segala puji bagi allah SWT, shalawat
beserta salam kepada rasulullah SAW. Dengan
berkat rahmat Allah SWT akhirnya makalah yang berjudul ‘’ AL-JAHR WA
TA’DIL’’ dapat terselesaikan tepat dengan waktunya untuk memenuhi tugas
mata kuliah ‘’ ULUMUL QURAN WAL HADIST ”.
Semakin majunya zaman maka semakin
banyak pula terjadinya kekeliruan dalam menilai suatu hadist. Oleh karna itu,
untuk mengetahui kebenaran suatu hadist itu maka Al-jahr dan Ta’dil merupakan
salah satu yang berperan penting untuk menilai suatu hadist dapat dijadikan
suatu hujjah atau tidak. Maka karnanya saya mencoba menyusun ringkasan tentang
itu untuk memudahkan para pembaca memahami secara cepat dan tepat.
Sebagai manusia yang masih dalam
dunia pendidikan tentunya tidak pernah luput dari kesalahan oleh karna itu saya
memohon ribuan maaf apabila isi dari makalah ini tidak sesuai dengan keinginan
pembaca dan tentunya saya juga mengharapkan para pembaca atas kritikan dan
sarannya.
Terima kasih banyak saya ucapkan
kepada sahabat saya Adam, Romy dkk yang telah rela meluangkan waktunya untuk
menemani saya dalam menyelesaikan makalah ini semoga semakin sukses dunia
akhirat dan terima kasih juga kepada bapak
Dr,H. Hasan basri,Ma yang telah berperan penting dalam kesempurnaan
makalah ini semoga semua kebaikannya dapat di balas setimpal oleh Allah SWT.
Demikian
dan terima kasih.
Darussalam, 13 desember 2014
Penulis
Munawir saputra
DAFTAR ISI
1.
BAB I
A.PENDAHULUAN …………………………………………..…………….. I
B.DAFTAR ISI …………………………………………………………….… II
2.
BAB II
ILMU JARH WA TA’DIL
A. Pengertian Ilmu al-jarah Wa al-Ta’dil
......................................................... 1
B.
Cara mengetahui jarh wa ta’dil …………………………………………….. 1
C. Lafadh yang digunakan untuk jarh dan ta’dil ……………………………… 2
D. Kitab-kitab ilmu jarh dan ta’dil
……………………………………………. 5
KESIMPULAN ……………………………………………………………….. 7
3. BAB III
PENUTUP DAN SARAN ………………………………………………..….. 9
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 10
BAB II PEMBAHASAN
ILMU JARAH WA TA’DIL
A. Pengertian Ilmu AL-jarh
Wa Al-ta’dil.
Ilmu al-jarh
wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi
diterima atau ditolaknya riwayat mereka dengan menggunkan kata-kata khusus.
1. Al-Jarh
Menurut etimologi Al-jarh berasal dari akar kata Jaraha-yajrihu
yang berarti luka atau menolak, sedangkan secara terminologi Al-jarh berarti
terlihatnya karakter perawi yang berimplikasi adanya anggapan hilangnya sifat
adil dan lemahnya hafalan rawi, yang berakibat cacatnya hadits yang ia
riwayatkan.
2. Al-Ta’dil
Al-‘adl (adil) dalam etimologi
bermakna suatu karakter yang konsisten, tidak sewenang-wenang, atau lalim yang
berada dalam diri seseorang, sedangkan Al-‘adl secara terminologi adalah
suatu karakter yang tidak nampak akan merusak citra agama ataupun harga diri
seseorang. Lalu makna dari istilah Al-ta’dil sendiri adalah pengakuan
terhadap seorang rawi dengan sifat-sifat yang mengharumkan namanya, sehingga
nampak sifat adilnya dan hadits yang ia riwayatkan dapat diterima. Jadi, ilmu
Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas keadaan rawi dari sisi diterima
atau ditolak periwayatannya.[1]
B. Cara Mengetahui Jarh Wa Ta’dil
Ada beberapa
kaidah penting yang digunakan mereka sebagai metode penelitian dari perawi
hadits, yaitu:
1.
Al-amanah wa Al-nazahah (Dari gaya berbicara )
Dalam artian mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan tetapi juga
kelebihan perawi, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin: “saya
telah berbuat dzalim terhadap saudaramu jika hanya menyebutkan keburukannya
dengan tanpa menyebutkan kebaikannya”.
2. Al-diqoh
fi al-bahsi wa al-hukmi (dari pergaulan langsung)
Dalam artian mereka sangat mendalam
dalam meneliti keadaan perawi yang diperbincangkan. Mayoritas para ulama bisa
mendiskripsikan keadaan para rawi, adakalanya karena mereka pernah bergaul
langsung dengan para rawi atau murni karena persangkaan mereka, dan mereka
membedakan antara lemahnya rawi yang berangkat dari kelemahannya dalam beragama
dan dari lemahnya hafalan.
3. Iltizam
‘ala al-adab fi al-jarh (menggunakan bahasa yang halus)
Dalam
artian para ulama jarh wa ta’dil dalam ijtihad mereka untuk memberikan
kritikan tidak akan keluar dari etika penelitian yang bersifat ilmiah yang
sahih. Kritikan yang paling tajam kepada rawi hanya memakai ungkapan “fulan
adalah orang yang lemah atau pembohong”. Bahkan sebagian dari mereka tidak
memakai kata “pembohong” tapi dengan ucapan “ia adalah orang yang
tidak jujur”.
4. Al-ijmal
fi al-Ta’dil wa Tafsil fi al-tarjih
Dalam
artian mereka ulama jarh wa ta’dil selalu menjelaskan sifat adil seorang
rawi secara global (tidak menjelaskan sebab-sebab keadilannya), seperti:
Ia bisa dipercaya, ia adil, dan lain
sebagainya. Sedangkan dalam menjelaskan sebab-sebab dari sifat jarh rawi
selalu terperinci, seperti: pelupa, pembohong, fasik, dan lain sebagainya.[2]
C. Lafadh Yang Digunakan Untuk Jarah Wa Ta’dil
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh dan
men-ta’dil rawi itu memiliki tingakatan-tingkatan. Menurut Ibnu Hajar menyusunnya menjadi
6 tingkatan, yaitu:[3]
1.
lafadz-lafadz menjarah rawi
a. Menunjukkan
kepada kecacatan yang sangat kepada rawi dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk afalut
tafhdil atau ungkapan yang lain (seperti sighat muballagah) yang
mengandung pengertian yang sejenisnnya dengan itu, misalnya:
-
Orang yang paling dusta
(اَوْضَعَ النَّاْس)
-
Orang yang paling
bohong (اَكْذَبُ النَّاسْ)
-
Orang yang paling top
kebohongannya (اِلَيْهِ الْمُنْتَقَى فِى الْوَضْعِ)
b. Menunjukkan
kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk sighat muballagah,
misalnya:
-
Orang yang pembohong (كَذَّابُ)
-
Orang yang pendusta (وَضَّاعٌ)
-
Orang yang penipu (دَجَّالْ)
c.
Menunjukkan
kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya, misalnya:
-
Orang yang dituduh
bohong (فُلَانٌ مِتَّهَمٌ بِاْلكَذْبِ)
-
Orang yang dituduh
dusta (اَوْمُتَّهِمٌ بِالْوَضْعِ)
-
Orang yang perlu
diteliti (فُلَانُ فِيْهِ النَّظْرُ)
-
Orang yang gugur (فُلاَنٌ سَاقِطٌ)
-
Orang yang hadisnya
telah hilang (فُلَانٌ ذَاهِبُ الْحَدِيْث)
-
Orang yang ditinggalkan
hadisnya (فُلَانٌ مَتْرُوْكُ الِحَدِيْث)
d. Menunjukkan kepada kelemahan yang sangat,
misalnya:
-
Orang yang dilempar
hadisnya (مُطْرَحُ الْحَدِيْثُ)
-
Orang yang lemah (فُلَانٌ ضَعِيْفٌ)
-
Orang yang ditolak
hadisnya (فُلَانٌ مَرْدُوْدٌ الْحَدِيْث)
e.
Menunjukkan
kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya:
-
Orang yang tidak dapat
dibuat hujjah hadisnya (فُلَانٌ لَايُحْتَجُّ
بِهِ)
-
Orang yang tidak dikenai identitasnya (فُلَانٌ
مَجْهُوْلٌ)
-
Orang yang mungkar
hadisnya (فُلَاٌن مًنْكَرٌ الْحَدِيْث)
-
Orang yang kacau hadisnya (فُلَانٌ مُضْطَرِبُ
الْحَدِيْث)
-
Orang yang banyak menduga-duga (فُلَانٌ وَاهٍ)
f. Menyifati rawi
dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tapi sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya:
-
Orang yang didla'ifkan
hadisnya (ضُعِّفَ حَدِيْثَهُ)
-
Orang yang
diperbincangkan (فُلَانٌ مُقَالٌ فِيْهِ)
-
Orang yang disingkiri (فُلَانٌ فِيْهِ خَلْفٌ)
-
Orang yang lunak
(فُلَانٌ لَيَّن)
-
Orang yang tidak dapat
digunakan hujjah hadisnya (فُلَانٌ لَيِسَ بِالْحُجَّةْ)
-
Orang yang tidak kuat (فُلَانٌ لَيْسَ بِالْقَوِى)
2.
Lafadz-lafadz menta’dil rawi
a.
Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi
dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut
tafdil atau ungkapan yang mengandung arti sejenis, misalnya:
-
Orang yang paling tsiqah (أَوْثَقُ النَّاسْ)
-
Orang yang paling mantap hafalan dan
keadilannya (أَثْبَتُ النَّاسِ حِفْظًا وَعَدَالَةً)
-
Orang yang paling mantap hafalan dan
keadilannya (إِلَيْهِ الْمُنْتَهَى فِى الثّبت)
-
Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah
(ثَقَةُ فَوَقَ الثَّقَةِ)
b. Memperkuat
ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik
sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan mengulanginya) maupun
semakna, misalnya:
-
Orang yang teguh (lagi)
teguh (ثُبُتٌ ثُبُتْ)
-
Orang yang tsiqah
(lagi) tsiqah (ثِقَةٌ ثِقَةْ)
-
Orang yang ahli (lagi)
pandai dalam berargumen (hujjah) (حُجَّةٌ
حُجَّةْ)
-
Orang yang teguh (lagi) tsiqah
(ثُبُتٌ ثِقَّةْ)
-
Orang yang kuat
ingatannya dan ahli berargumen (hujjah) (حَافِظٌ
حُجَّةْ)
-
Orang yang kuat ingatan
lagi meyakinkan ilmunya (ضَابِطٌ مُتْقِن).
c. Menunjuk
keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan, misalnya:
-
Orang yang teguh (hati
dan lidahnya), (ثُبُتٌ)
-
Orang yang meyakinkan (ilmunya), (مُتْقِنٌ)
-
Orang yang tsiqah (ثِقَةٌ)
-
Orang yang hafidh (kuat hafalannya), (حَافِظٌ)
-
Orang yang hujjah (حُجَّةٌ).
d. Menunjukkan
keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti
kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
-
Orang yang sangat jujur (صَدُوْقٌ)
-
Orang yang dapat memegang amanat (مَأْمُوْنٌ)
-
Orang yang tidak cacat (لَابَأْسَ بِهْ).
e. Menunjukkan
kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan, misalnya:
-
Orang yang berstatus
jujur (مَحِلُّهُ الصِّدْقُ)
-
Orang yang baik
hadisnya (جَيِّدُ الْحَدِيْث)
-
Orang yang bagus hadisnya (حَسَنُ الْحَدِيْث)
-
Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadis-hadis orang lain yang tsiqah
(مُقَارِبُ الْحَدِيْث).
f. Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti
sifat-sifat yang sudah disebutkan diatas yang diikuti dengan lafadz “Insya Allah”,
atau lafadz tersebut di-tashgir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu
dikatikan dengan suatu pengharapan, misalnya:
-
Orang yang jujur, insya Allah (صُدُوْقٌ إِنْشَاءَ الله)
-
Orang yang diharapkan tidak memiliki cacat (فُلَانٌ أَرْجُوْ بِأَنَّ
لَابَأْسَ بِه)
-
Orang yang sedikit kesalehannya (فُلَانٌ صويلح)
-
Orang yang di harapkan diterima hadisnya (فُلَانٌ مَقْبُوْل حَدِيْثُهُ)
D. Kitab-Kitab Ilmu Jarh Wa Ta’dil
Dan
berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada kita:
1. Kitab Ma’rifat Ar Rijal,
karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H),
2. Kitab Adh Dhu’afa Al Kabir
dan Adh Dhu’afa’ Ash Shaghir, karya Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak
di India.
3. Kitab Ats Tsiqat, karya
Abu Al Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al ‘ijly (wafat tahun 261 H),
4. Kitab Adh Dhuafa wa Al
Matruukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdulkarim Ar Razi (wafat tahun 264 H),
5. Kitab Adh Dhu’afa’ wa Al
Kadzdzabun wa Al Marukuun min Ashhabi Al Hadits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin Amr Al Bardza’I (wafat tahun
292 H).
6. Kitab Adh Dhu’afa’ wa Al
Matrukin, karya Imam Ahmad bin Ali An Nasa’i (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adh
Dhu’afa’ karya Imam Bukhari.
7. Kitab Adh Dhu’afa’, karya
Abu Ja’far Muhammad bin Amr bin Musa bin Hammad Al ‘Uqaily (Wafat tahun 322 H).
8. Kitab Ma’rifat Al Majruhin min
Al Muhadditsin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al Busti (wafat tahun 354 H)
9. Kitab At Tarikh Al Kabir,
karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H)
10.Kitab Al Jarh wa At Ta’dil,
karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi (wafat tahun
327 H) dan dia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al
Jarh Wa At-ta’dil yang sampai kepada
kita, dan paling banyak faidahnya, dimana dia mencakup
banyak perkataan hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para
perawi hadits secara umum.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Karakter perawi yang
tidak adil dan lemah ingatannya dalam meriwayatkan sebuah hadist sehingga dikatakan hadist itu cacat
disebut Al-jarh sedangkan Al-ta’dil adalah kebalikan dari
al-jarh.
Al-jarh wa ta’dil dapat di lihat
dari:
a.
.Al-amanah wa al-nazahah
Dalam artian
mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan tetapi juga kelebihan perawi,
b.
Al-diqoh
fi al-bahsi wa al-hukmi
Dalam artian
mereka sangat mendalam dalam meneliti keadaan perawi yang diperbincangkan.
c.
Iltizam ‘ala al-adab fi al-jarh
Dalam artian para ulama jarh wa ta’dil
–dalam ijtihad mereka untuk memberikan kritikan- tidak akan keluar dari etika
penelitian yang bersifat ilmiah yang sahih.
d.
Al-ijmal fi al-Ta’dil wa Tafsil fi al-tarjih
Dalam artian,
mereka -ulama jarh wa ta’dil- selalu menjelaskan sifat adil seorang rawi
secara global (tidak menjelaskan sebab-sebab keadilannya),
Lafadz-lafadz
yang digunakan untuk men-jarh dan men-ta’dil rawi itu memiliki
tingakatan-tingkatan.. Menurut Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan,
yaitu:[4]
1. Al-jarh
a.
Menunjukkan kepada kecacatan yang sangat kepada
rawi dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk afalut tafhdil atau
ungkapan yang lain
b.
Menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan
lafadz berbentuk sighat muballagah
c.
Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau
yang lainnya
d.
Menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi
mengenai hafalannya Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk
kelemahannya, tapi sifat itu berdekatan dengan adil
e.
Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham
adanya kedhabitan
f.
Menunjukkan arti mendekati cacat
2.
Ta’dil
a.
. Segala sesuatu
yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-lafadz
yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan yang mengandung arti sejenis
b.
Memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan
membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya,
baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan mengulanginya) maupun
semakna
c.
.
Menunjuk
keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan
d.
Menunjukkan keadilan dan kedhabitan,
tapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah)
e.
Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham
adanya kedhabitan
f.
Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti
sifat-sifat yang sudah disebutkan diatas yang diikuti dengan lafadz “Insya
Allah”, atau lafadz tersebut di-tashgir-kan (pengecilan arti), atau lafadz
itu dikatikan dengan suatu pengharapan
Banyak dalam kitab-kitab karangan
ulama yang menjelaskan tentang jarh wa ta’dil salah satunya adalah Kitab At
Tarikh Al Kabir, karya Imam Bukhari.
B.
Saran
kami mohon
saran dan kritikannya dari pihak pembaca agar makalah ini dapat menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT. Al-Ma’arif: Bandung,
1974, hal. 313.
Nuruddin ‘Itr. ‘Ulumul Hadis. Alih
bahasa Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. I. 2012
Sulaiman Pettalogi, M. Noor. Antologi Ilmu
Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press. Cet. II. 2009.
Rahman, Fatchur., Drs., Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, PT. Al-Ma’arif: bandung, 1974.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar