Rabu, 10 Juni 2015

AL-JAHR WAL TA’DIL

AL-JAHR WAL TA’DIL


MAKALAH
Ulumul Quran Wal Hadist
Diajukan Oleh:
MUNAWIR SAPUTRA
Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan komunikasi
Prodi Komunikasi Penyiaran Islam
NIM: 140401012









FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS  ISLAM NEGERI  AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2014 M / 1435 H



BAB I
PENDAHULUAN
            Segala puji bagi allah SWT, shalawat beserta salam kepada rasulullah  SAW. Dengan berkat rahmat Allah SWT akhirnya makalah yang berjudul ‘’ AL-JAHR WA TA’DIL’’ dapat terselesaikan tepat dengan waktunya untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘’ ULUMUL QURAN WAL HADIST ”.
            Semakin majunya zaman maka semakin banyak pula terjadinya kekeliruan dalam menilai suatu hadist. Oleh karna itu, untuk mengetahui kebenaran suatu hadist itu maka Al-jahr dan Ta’dil merupakan salah satu yang berperan penting untuk menilai suatu hadist dapat dijadikan suatu hujjah atau tidak. Maka karnanya saya mencoba menyusun ringkasan tentang itu untuk memudahkan para pembaca memahami secara cepat dan tepat.
            Sebagai manusia yang masih dalam dunia pendidikan tentunya tidak pernah luput dari kesalahan oleh karna itu saya memohon ribuan maaf apabila isi dari makalah ini tidak sesuai dengan keinginan pembaca dan tentunya saya juga mengharapkan para pembaca atas kritikan dan sarannya.
            Terima kasih banyak saya ucapkan kepada sahabat saya Adam, Romy dkk yang telah rela meluangkan waktunya untuk menemani saya dalam menyelesaikan makalah ini semoga semakin sukses dunia akhirat dan terima kasih juga kepada bapak  Dr,H. Hasan basri,Ma yang telah berperan penting dalam kesempurnaan makalah ini semoga semua kebaikannya dapat di balas setimpal oleh Allah SWT.
Demikian dan terima kasih.


Darussalam, 13 desember 2014

Penulis


Munawir saputra



DAFTAR ISI

1.      BAB I
A.PENDAHULUAN …………………………………………..…………….. I
B.DAFTAR ISI …………………………………………………………….… II
      2.   BAB II
          ILMU JARH WA TA’DIL
            A. Pengertian Ilmu al-jarah Wa al-Ta’dil  ......................................................... 1
B. Cara mengetahui jarh wa ta’dil …………………………………………….. 1
C. Lafadh yang digunakan untuk jarh dan ta’dil ……………………………… 2
D. Kitab-kitab ilmu jarh dan ta’dil ……………………………………………. 5
KESIMPULAN ……………………………………………………………….. 7
3. BAB III
PENUTUP DAN SARAN ………………………………………………..….. 9
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 10



BAB II PEMBAHASAN
ILMU JARAH WA TA’DIL

A.    Pengertian Ilmu AL-jarh Wa Al-ta’dil.
            Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka dengan menggunkan kata-kata khusus.
     1. Al-Jarh
Menurut etimologi Al-jarh berasal dari akar kata Jaraha-yajrihu yang berarti luka atau menolak, sedangkan secara terminologi Al-jarh berarti terlihatnya karakter perawi yang berimplikasi adanya anggapan hilangnya sifat adil dan lemahnya hafalan rawi, yang berakibat cacatnya hadits yang ia riwayatkan.
     2. Al-Ta’dil
Al-‘adl (adil) dalam etimologi bermakna suatu karakter yang konsisten, tidak sewenang-wenang, atau lalim yang berada dalam diri seseorang, sedangkan Al-‘adl secara terminologi adalah suatu karakter yang tidak nampak akan merusak citra agama ataupun harga diri seseorang. Lalu makna dari istilah Al-ta’dil sendiri adalah pengakuan terhadap seorang rawi dengan sifat-sifat yang mengharumkan namanya, sehingga nampak sifat adilnya dan hadits yang ia riwayatkan dapat diterima. Jadi, ilmu Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas keadaan rawi dari sisi diterima atau ditolak periwayatannya.[1]
B. Cara Mengetahui Jarh Wa Ta’dil
            Ada beberapa kaidah penting yang digunakan mereka sebagai metode penelitian dari perawi hadits, yaitu:
1. Al-amanah wa Al-nazahah (Dari gaya berbicara )
           Dalam artian mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan tetapi juga kelebihan perawi, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin: “saya telah berbuat dzalim terhadap saudaramu jika hanya menyebutkan keburukannya dengan tanpa menyebutkan kebaikannya”.
2.      Al-diqoh fi al-bahsi wa al-hukmi (dari pergaulan langsung)
            Dalam artian mereka sangat mendalam dalam meneliti keadaan perawi yang diperbincangkan. Mayoritas para ulama bisa mendiskripsikan keadaan para rawi, adakalanya karena mereka pernah bergaul langsung dengan para rawi atau murni karena persangkaan mereka, dan mereka membedakan antara lemahnya rawi yang berangkat dari kelemahannya dalam beragama dan dari lemahnya hafalan.
3.      Iltizam ‘ala al-adab fi al-jarh (menggunakan bahasa yang halus)
            Dalam artian para ulama jarh wa ta’dil dalam ijtihad mereka untuk memberikan kritikan tidak akan keluar dari etika penelitian yang bersifat ilmiah yang sahih. Kritikan yang paling tajam kepada rawi hanya memakai ungkapan “fulan adalah orang yang lemah atau pembohong”. Bahkan sebagian dari mereka tidak memakai kata “pembohong” tapi dengan ucapan “ia adalah orang yang tidak jujur”.
4.      Al-ijmal fi al-Ta’dil wa Tafsil fi al-tarjih
            Dalam artian mereka ulama jarh wa ta’dil selalu menjelaskan sifat adil seorang rawi secara global (tidak menjelaskan sebab-sebab keadilannya), seperti:
      Ia bisa dipercaya, ia adil, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam menjelaskan sebab-sebab dari sifat jarh rawi selalu terperinci, seperti: pelupa, pembohong, fasik, dan lain sebagainya.[2]
C. Lafadh Yang Digunakan Untuk Jarah Wa Ta’dil
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh dan men-ta’dil rawi itu memiliki tingakatan-tingkatan.  Menurut Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu:[3]

1.           lafadz-lafadz menjarah rawi

a.  Menunjukkan kepada kecacatan yang sangat kepada rawi dengan menggunakan                     lafadz-lafadz yang berbentuk afalut tafhdil atau ungkapan yang lain (seperti sighat muballagah) yang mengandung pengertian yang sejenisnnya dengan itu, misalnya:
-          Orang yang paling dusta (اَوْضَعَ النَّاْس)
-          Orang yang paling bohong (اَكْذَبُ النَّاسْ)
-          Orang yang paling top kebohongannya (اِلَيْهِ الْمُنْتَقَى فِى الْوَضْعِ)
      b.  Menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk sighat                    muballagah, misalnya:
-          Orang yang pembohong (كَذَّابُ)
-          Orang yang pendusta (وَضَّاعٌ)
-          Orang yang penipu (دَجَّالْ)                                                               
     c.  Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya, misalnya:
-          Orang yang dituduh bohong (فُلَانٌ مِتَّهَمٌ بِاْلكَذْبِ)
-          Orang yang dituduh dusta (اَوْمُتَّهِمٌ بِالْوَضْعِ)
-          Orang yang perlu diteliti (فُلَانُ فِيْهِ النَّظْرُ)
-          Orang yang gugur (فُلاَنٌ سَاقِطٌ)
-          Orang yang hadisnya telah hilang (فُلَانٌ ذَاهِبُ الْحَدِيْث)
-          Orang yang ditinggalkan hadisnya (فُلَانٌ مَتْرُوْكُ الِحَدِيْث)

        d. Menunjukkan kepada kelemahan yang sangat, misalnya:
-          Orang yang dilempar hadisnya (مُطْرَحُ الْحَدِيْثُ)
-          Orang yang lemah (فُلَانٌ ضَعِيْفٌ)
-          Orang yang ditolak hadisnya (فُلَانٌ مَرْدُوْدٌ الْحَدِيْث)
        e.  Menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya,                       misalnya:
-          Orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya (فُلَانٌ لَايُحْتَجُّ بِهِ)
-           Orang yang tidak dikenai identitasnya (فُلَانٌ مَجْهُوْلٌ)
-           Orang yang mungkar hadisnya (فُلَاٌن مًنْكَرٌ الْحَدِيْث)
-           Orang yang kacau hadisnya (فُلَانٌ مُضْطَرِبُ الْحَدِيْث)
-           Orang yang banyak menduga-duga (فُلَانٌ وَاهٍ)

            f.  Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tapi sifat itu                     berdekatan dengan adil, misalnya:
-          Orang yang didla'ifkan hadisnya (ضُعِّفَ حَدِيْثَهُ)
-          Orang yang diperbincangkan (فُلَانٌ مُقَالٌ فِيْهِ)
-          Orang yang disingkiri (فُلَانٌ فِيْهِ خَلْفٌ)
-            Orang yang lunak  (فُلَانٌ لَيَّن)
-            Orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya (فُلَانٌ لَيِسَ بِالْحُجَّةْ)
-            Orang yang tidak kuat (فُلَانٌ لَيْسَ بِالْقَوِى)

2.           Lafadz-lafadz menta’dil rawi

a.       Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan yang mengandung arti sejenis, misalnya:
-          Orang yang paling tsiqah (أَوْثَقُ النَّاسْ)
-          Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (أَثْبَتُ النَّاسِ حِفْظًا وَعَدَالَةً)
-          Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (إِلَيْهِ الْمُنْتَهَى فِى الثّبت)
-          Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah (ثَقَةُ فَوَقَ الثَّقَةِ)

            b.   Memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang                menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu                   selafadz (dengan mengulanginya) maupun semakna, misalnya:
-          Orang yang teguh (lagi) teguh (ثُبُتٌ ثُبُتْ)
-          Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah (ثِقَةٌ ثِقَةْ)
-          Orang yang ahli (lagi) pandai dalam berargumen (hujjah) (حُجَّةٌ حُجَّةْ)
-          Orang yang teguh (lagi) tsiqah (ثُبُتٌ ثِقَّةْ)
-          Orang yang kuat ingatannya dan ahli berargumen (hujjah) (حَافِظٌ حُجَّةْ)
-          Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya (ضَابِطٌ مُتْقِن).

            c. Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan,                      misalnya:
-          Orang yang teguh (hati dan lidahnya), (ثُبُتٌ)
-          Orang yang meyakinkan (ilmunya), (مُتْقِنٌ)
-          Orang yang tsiqah (ثِقَةٌ)
-          Orang yang hafidh (kuat hafalannya), (حَافِظٌ)
-          Orang yang hujjah (حُجَّةٌ).

            d. Menunjukkan keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak mengandung          arti kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
-          Orang yang sangat jujur (صَدُوْقٌ)
-          Orang yang dapat memegang amanat (مَأْمُوْنٌ)
-          Orang yang tidak cacat (لَابَأْسَ بِهْ).

            e.  Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan, misalnya:
-          Orang yang berstatus jujur (مَحِلُّهُ الصِّدْقُ)
-          Orang yang baik hadisnya (جَيِّدُ الْحَدِيْث)
-          Orang yang bagus hadisnya (حَسَنُ الْحَدِيْث)
-          Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadis-hadis orang lain yang tsiqah
(مُقَارِبُ الْحَدِيْث).

           f.   Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat yang sudah disebutkan diatas           yang diikuti dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz tersebut di-tashgir-kan                             (pengecilan arti), atau lafadz itu dikatikan dengan suatu pengharapan, misalnya:
-          Orang yang jujur, insya Allah (صُدُوْقٌ إِنْشَاءَ الله)
-          Orang yang diharapkan tidak memiliki cacat (فُلَانٌ أَرْجُوْ بِأَنَّ لَابَأْسَ بِه)
-          Orang yang sedikit kesalehannya (فُلَانٌ صويلح)      
-          Orang yang di harapkan diterima hadisnya (فُلَانٌ مَقْبُوْل حَدِيْثُهُ)

D. Kitab-Kitab Ilmu Jarh Wa Ta’dil
     Dan berikut ini  karya-karya mereka yang sampai kepada kita:
            1. Kitab Ma’rifat Ar Rijal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H),
            2. Kitab Adh Dhu’afa Al Kabir dan Adh Dhu’afa’ Ash Shaghir, karya Imam           Muhammad bin Ismail Al Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India.
            3. Kitab Ats Tsiqat, karya Abu Al Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al ‘ijly    (wafat tahun 261 H),
            4. Kitab Adh Dhuafa wa Al Matruukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdulkarim       Ar Razi (wafat tahun 264 H),
            5. Kitab Adh Dhu’afa’ wa Al Kadzdzabun wa Al Marukuun min Ashhabi Al Hadits,           karya Abu ‘Utsman Sa’id bin Amr Al Bardza’I (wafat tahun 292 H).
            6. Kitab Adh Dhu’afa’ wa Al Matrukin, karya Imam Ahmad bin Ali An Nasa’i (wafat        tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adh Dhu’afa’ karya Imam Bukhari.
            7. Kitab Adh Dhu’afa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin Amr bin Musa bin Hammad       Al ‘Uqaily (Wafat tahun 322 H).
            8. Kitab Ma’rifat Al Majruhin min Al Muhadditsin, karya Muhammad bin Ahmad bin         Hibban Al Busti (wafat tahun 354 H)
            9. Kitab At Tarikh Al Kabir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H)
            10.Kitab Al Jarh wa At Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi (wafat tahun 327 H) dan dia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al Jarh Wa At-ta’dil yang sampai kepada kita, dan paling banyak faidahnya, dimana dia         mencakup banyak perkataan hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.


BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
      Karakter perawi yang tidak adil dan lemah ingatannya dalam meriwayatkan sebuah  hadist sehingga dikatakan hadist itu cacat disebut Al-jarh sedangkan Al-ta’dil adalah kebalikan dari al-jarh.
            Al-jarh wa ta’dil  dapat di lihat dari:
a.       .Al-amanah wa al-nazahah
Dalam artian mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan tetapi juga kelebihan perawi,
b.       Al-diqoh fi al-bahsi wa al-hukmi
Dalam artian mereka sangat mendalam dalam meneliti keadaan perawi yang diperbincangkan.
c.       Iltizam ‘ala al-adab fi al-jarh
 Dalam artian para ulama jarh wa ta’dil –dalam ijtihad mereka untuk memberikan kritikan- tidak akan keluar dari etika penelitian yang bersifat ilmiah yang sahih.
d.      Al-ijmal fi al-Ta’dil wa Tafsil fi al-tarjih
Dalam artian, mereka -ulama jarh wa ta’dil- selalu menjelaskan sifat adil seorang rawi secara global (tidak menjelaskan sebab-sebab keadilannya),
            Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh dan men-ta’dil rawi itu memiliki tingakatan-tingkatan.. Menurut Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu:[4]

1.      Al-jarh

a.       Menunjukkan kepada kecacatan yang sangat kepada rawi dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk afalut tafhdil atau ungkapan yang lain
b.      Menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk sighat muballagah
c.       Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya
d.      Menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tapi sifat itu berdekatan dengan adil
e.       Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan
f.       Menunjukkan arti mendekati cacat

2.      Ta’dil

a.       . Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan yang mengandung arti sejenis
b.      Memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan mengulanginya) maupun semakna
c.       .  Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan
d.      Menunjukkan keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah)
e.       Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan
f.       Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat yang sudah disebutkan diatas yang diikuti dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz tersebut di-tashgir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu dikatikan dengan suatu pengharapan
            Banyak dalam kitab-kitab karangan ulama yang menjelaskan tentang jarh wa ta’dil salah satunya adalah Kitab At Tarikh Al Kabir, karya Imam Bukhari.







B.     Saran
kami mohon saran dan kritikannya dari pihak pembaca agar makalah ini dapat    menjadi lebih baik.






DAFTAR PUSTAKA
Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1974, hal. 313.
Nuruddin ‘Itr. ‘Ulumul Hadis. Alih bahasa Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. I. 2012
Sulaiman Pettalogi, M. Noor. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press. Cet. II. 2009.
Rahman, Fatchur., Drs., Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT. Al-Ma’arif: bandung, 1974.





[1] Abdul Mahdi.hal:29

[2] Ibid, hal. 79
               
[3] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1974, hal. 313.
[4] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1974, hal. 313.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar