Rabu, 10 Juni 2015

POLA DAKWAH BERDASARKAN SASARAN

POLA DAKWAH BERDASARKAN SASARAN



DISUSUN OLEH:
MUNAWIR SAPUTRA
M. RINALDI
UNIT: 4
STUDY: ILMU DAKWAH









FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UIN AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2015



BAB I PENDAHULUAN
KATAPENGANTAR
            Semakin berkembangnya zaman semakin perlunya bagaimana untuk mengembangkan agama islam yang di pertama kali di kembangkan oleh rasulullah. Dari suri tauladan yang dapat di contoh dari rasul mengajarkan kita untuk bagaimana menjadi seorang yang lebih kretif dalam berdakwah untuk mencapai tujuan sebagaimana yang telah diwajibkan kepada umat muslim pada umumnya. Dari situ maka dari itu kmi mencob memaparkan ringkasan dari bagaimana berdakwah sesuai dengan sasarannya. Dan apa bila ada kesalahan dari penulisan materi ini kami mohon kritikan dan saran dari pihak pembaca agar bisa menjadi sebuah manfaat yang besar bagi kehidupan kita dunia dan akhirat. Demikian dan terima kasih.



                                                                                                                        PENULIS











DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………ii
BAB II PEMBAHASAN
POLA DAKWAH BERDASARKAN SASARAN
A.    DAKWAH BIL AL-LISAN/AL-KALAM …………………………………………. 1
B.     DAKWAH BIL AL-HAL …………………….……….……………………………. 2
C.     DAKWAHBIL AL-KITABAH……………………….…………………………….. 3
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN …………………………………………………………………………….. 5
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………. 6



BAB II. PEMBAHASAN
Pola Dakwah Berdasarkan Sasaran

I.                   Pengertian  Da’wah bi al-Lisan/ Da’wah bi al-Kalam

              Da’wah bi al-Lisan adalah da’wah yang menggunakan lisan. Kata “kallama” dapat juga diartikan sebagai “haddatha” (berbicara kepada) dan “jawaba” (berbicara dengan). Secara lebih komprehensif, da’wah bi al-kalam adalah dakwah lisan yang bersifat linear atau monolog (haddatha), aktifitasnya lebih dominan pada da’i, dan juga bersifat sirkular atau dialog (jawaba), yang menuntut adanya kesetaraan antara da’I dan mad’u. Perpaduan sifat dasar inilah yang sehrusnya mendasari aktivitas da’wah islam.
             Da’wah bi al-Lisan merupakan pola dakwah yang mengandalkan kemampuan menerjemahkan pesan-pesan Islam  dalam bentuk bahasa lisan (oral) dengan melibatkan kapasitas intelektual dan / atau emosional. Aspek intelektul dimaksudkan sebagai kapasitas untuk merumuskan atau memilih kata-kata yang tepat dan jelas sehingga terhindar munculnya gangguan semantik ynag kerap kali tersaring dalam pesa-pesan yang menggunakan bahasa, baik bahasa verbal maupun non verbal. Bahasa dalam proses komunikasi dakwah merupakan salah satu faktor dan dominan. Kecendrungan menggunakan bahasa yang tepat akan memudahkan tercapainya tujuan yang ditetapkan, karena bahasa memiliki potensi mendudukkan persoalan yang dikehendai pada porsinya dan dapat dipahami secara mudah.
             Da’wah bi al-Lisan kurang tepat bila diasumsikan semata-mata bersifat informatif, yang memberikan atau menyampaikan informasi tentang ajaran agama islam atau sering disebut hanya sebagai ceramah agama, tetapi juda dakwah dialogis yang memerlukan : “ feed back”, yang umumnya secara langsung atau tidak langsung. Perkembangan pola dakwah bi al-Lisan didominasi oleh lahirlah ilmu rethorika sebagai ilmu yang membahas seni bicara dengan melibatkan berbagai komponen ilmu pengetahuan yang lain dengan tujuan menyakinkan mad’u melalui pendekatan persuasif.
             Retorika sebagai seni dalam dakwah bi al-Lisan tidak menafikan factor-faktor rasional serta penataan atau sususan paket pembicaraan dengan sistematis dan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh mad’u. Pembicaraan denganmenggunakan gaya bahasa yang indah tanpa didukung oleh sistematika yang memadai akan menyebabkan materi yang disajikan kurang memberikan dampak pada mad’u, karena sifatnya yang tidak pernah tuntas atau berulang-ulang, Sebaliknya, bahasan yang sistematis tetapi tidak disajikan dengan bahasayang mudah dipahami juga akan menimbulkan kesulitan bagi mad’u untuk memahami pesan-pesan yang disampaikan.

II.                Da’wah bi al-Kitabah (Dakwah dengan Tulisan)

                  Pada abad ke-20 kini, terdapat pelbagai cara atau metodologi yang boleh dipraktikkan oleh para pendakwah selain dari dakwah secara lisan dan hal. Ianya bukanlah satu cara yang mudah akan tetapi perlu secara terus-menerus. Dakwah bil Kitabah ( Penulisan ) amat bersesuaian dengan masyarakat kini yang mempunyai pelbagai tabiat. Ada yang malu untuk bertanya, ada yang tidak sempat atau terlalu sibuk dengan kerja dan sebagainya. Maka, dengan kaedah ini, sedikit sebanyak akan membantu mereka bagai menambahkan lagi input di waktu lapang mereka di samping pendakwah boleh menghuraikan secara terperinci berkaitan dengan Islam.
 Dakwah melalui tulisan dapat terus diingati. Seperti contoh, karya ilmuan Buya Hamka yang telah menulis pelbagai buku. Meskipun kini beliau telah tiada akan tetapi buku penulisannya masih ramai orang membaca dan tulisannya seringkali dijadikan rujukan.
 Terdapat dua cara utama yang boleh digunakan oleh para pendakwah dalam bidang penulisan ini sesuai dengan situasi semasa. Di antaranya melalui :

1. Pembukuan dan Media Cetak
                   Kini terdapat ramai di kalangan ulama yang membukukan penulisan mereka. Dengan cara ini, mereka akan menghuraikan secara terperinci mengenai sesuatu perbahasan dengan mendalam. Bahkan penulisan mereka juga turut dijadikan bahan rujukan oleh mahasiswa dan sebagainya di dalam kertas kerja mereka. Terdapat pelbagai jenis media cetak pada masa kini. Samada surat khabar, majalah, risalah, jurnal-jurnal dan sebagainya perlu dipraktikkan. Melalui pelbagai cara ini, gerakan dakwah dapat tersebar luas bukan hanya di dalam kumpulan masyarakat yang kecil malah di seantaro dunia.

 2. Media Elektronik
                  Media elektronik yang sesuai dengan cara penulisan kini ialah dengan melalui internet iaitu satu jaringan popular pada masa kini lebih-lebih lagi pada golongan muda. Kadang-kala pengaruh internet memberi kesan yang hebat kepada mereka, maka adalah menjadi salah satu alternatif yang baik jika para pendakwah turut menggunakan cara ini. Bukan hanya penulisan di laman-laman web, blog malah jaringan-jaringan sosial seperti Facebook, Friendster, Twitter dan sebagainya turut memberi pengaruh yang besar pada masyarakat lebih-lebih lagi untuk menarik perhatian remaja kini.
Selain daripada itu, di antara ciri yang perlu ada dalam sesebuah penulisan untuk menerbitkan karya-karya berbentuk dakwah Islamiyah mengikut sitausi semasa tetapi tidak melampaui batas-batasnya. Antara cara atau kaedahnya adalah:

1. Penceritaan
                 Ternyata kini, gaya bentuk penulisan yang bercorak penceritaan semakin diminati. Seperti contoh, karya Ustaz Hasrizal yang bertajuk “ Aku Terima Nikahnya 1 dan 2 ” amat laris di pasaran. Ini menunjukkan golongan kini terutamanya remaja serta belia pertengahan usia semakin menggemari gaya penulisan dakwah yang berbentuk cerita santai. Di samping itu, bentuk-bentuk penceritaan yang berunsurkan Islam seperti contoh di dalam karya Habibburahman El Shirazy seperti Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 banyak menyentuh aspek kehidupan di dalam Islam sehingga menjadi bualan masyarakat kini.

2. Bahasa
                 Untuk seseorang pendakwah mencapai tahap yang terbaik iaitu melangkaui sehingga peringkat global, seseorang pendakwah itu perlu untuk berkemahiran dalam pelbagai bahasa antaranya bahasa yang menjadi bahasa utama dunia iaitu Bahasa Inggeris di samping penggunaan bahasa harian yang dapat difahami masyarakat sekeliling. Hal ini perlu jika seseorang pendakwah ini benar-benar mahu berjuang dan menakluki hati-hati betapa indahnya Islam kepada orang bukan Islam. Dengan cara ini, mungkin ianya menjadi salah satu medium bagi orang bukan Islam membuka minda mereka dan menerima Islam dengan hanya membaca tulisan-tulisan ini sekaligus mereka ingin mengetahui dan mendekati Islam lagi.

III.             Da’wah bi al-hal ( Dakwah dengan perbuatan )

Da’wah bi al-hal erat kaitannya dengan komunikasi yang bersifat persuasif, karna pada dasarnya da’wah bi al-hal adalah pemanfaatan situasi dan kondisi masyarakat sebagai kegiatan da’wah agar tumbuh loyalitas dan kepatuhannya terhadap ajaran agama. Strategi da’wah bi al-hal cenderung diterapkan sebagai langkah merubah keadaan masyrakat menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Berbeda dengan da’wah bi al-kalam dan bi al-rasm,yang berdemensi immaterial, da’wah bi al-hal lebih menekankan kepada hal-hal yang bersifat praktis yang mampu merangsang mad’u agar secara revolusioner melakukan perubahan sesuai yang di kehendaki da’i.[1]
Termonologi da’wah bi a-hal muncul pada dasa warsa 1980-an[2] setelah sebelumnya sempat muncul pada symposium da’wah di Surabaya pada tanggal 23 Februari 1962. Para tokoh agama yang menghadiri symposium memberikan rekomendasi menyangkut perluasan makna da’wah dari semata-mata “ajakan “ menjadi lebih kongkret dan bertanggung jawab. “ Qaulu-n wa ‘amalun ”. Inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya istilah da’wah bi al-hal.
Dakwah bi al-hal mengandung konsekwensi mengenai perlunya pemahaman yang lebih baik terhadap masyarakat sasaran da’wah. Realitas kehidupan masyarakat sasaran da’wah dalam segenap demensi kehidupan merupakn sumber inspirasi aktifitas da’wah bi al-hal. Sebagai era lahirnya istilah da’wah bi al-hal, bangkit orgnisasi-organisasi islam yang mengembangkan kegiatannya dalam bidang pendidikan da’wah, seperti munculnya kampus (universitas) sebagai pusat da’wah. Semua fenomena ini muncul sebagai reaksi terhadap sosio-kultural masyarakat yang di nilai terlalu naïf dalam menghadapi proses sekularisasi yang lahir akibat proses industrilisasi.
Pola-pola da’wah islam dengan berbagai pendekatan seperti yang di kemukakan di atas, dapat di jadikan landasan pemikiran untuk mengembangkan interpretasi da’wah islam yang mengacu pada kepentingan sosio-kultural umat manusia. Pengembangan ma’na dakwah yang lebih bersifat aplikatif cenderung mengantarkan islam untuk ikut berperan dan menentukan penafsiran dan arah kemajuan sains dan teknologi. Aktualisasi islam dalam konteks ini menjadi sangat penting mengingat kemajuan sains dan teknologi juga membawa dampak kurang menguntungkan terutama dalam perbedaan presuposisi konsepsi tentang alam dan manusia.


BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
 Da’wah bi al-Lisan adalah da’wah yang menggunakan lisan.
, da’wah bi al-kalam adalah dakwah lisan yang bersifat linear atau monolog (haddatha), aktifitasnya lebih dominan pada da’i, dan juga bersifat sirkular atau dialog (jawaba), yang menuntut adanya kesetaraan antara da’I dan mad’u.
Da’wah bi al-Lisan merupakan pola dakwah yang mengandalkan kemampuan menerjemahkan pesan-pesan Islam  dalam bentuk bahasa lisan (oral) dengan melibatkan kapasitas intelektual dan / atau emosional.

Da’wah bi al-Kitabah (Dakwah dengan Tulisan)
Terdapat dua cara utama yang boleh digunakan oleh para pendakwah dalam bidang penulisan ini sesuai dengan situasi semasa. Di antaranya melalui :
1. Pembukuan dan Media Cetak
 2. Media Elektronik
Selain daripada itu, di antara ciri yang perlu ada dalam sesebuah penulisan untuk menerbitkan karya-karya berbentuk dakwah Islamiyah mengikut sitausi semasa tetapi tidak melampaui batas-batasnya. Antara cara atau kaedahnya adalah:
1. Penceritaan
2. Bahasa

Da’wah bi al-hal ( Dakwah dengan perbuatan )
da’wah bi al-hal adalah pemanfaatan situasi dan kondisi masyarakat sebagai kegiatan da’wah agar tumbuh loyalitas dan kepatuhannya terhadap ajaran agama



DAFTAR PUSTAKA
Drs. Fatchur Rahman, Ilmu Dakwah, PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1974, hal. 313.
Nuruddin ‘Itr. ‘Ulumul Dakwah. Alih bahasa Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. I. 2012
Sulaiman Pettalogi, M. Noor. Antologi Ilmu Dakwah. Jakarta: Gaung Persada Press. Cet. II. 2009.
Rahman, Fatchur., Drs., Pola Dakwah, PT. Al-Ma’arif: bandung, 1974.




[1] Ghazali M. Bahri, Da’wah komunikatif…h.45.
[2] Kuntowijoyo, Paradigma Islam:…h.62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar